INDONESIA NEGARA AGRARIS, KEMBALIKAN KEJAYAAN PETANI, JANGAN KEHILANGAN JATI DIRI
Indoshinju.com – Indonesia, Negeri Agraris yang subur makmur, dan pernah disebut sebagai zamrud katulistiwa.
Namun apa yang terjadi saat ini ? Indonesia Negara Agraris yang seakan kehilangan jatidiri.
Negara agraris dan negara maritim, demikianlah dahulu berbagai julukan yang melekat pada dinding hati putra putra Bangsa Indonesia, yang memiliki tanah pertanian nan subur dan lautan luas, kaya raya dengan hasil perikanan dan pertania yang melimpah ruah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata pencaharian utama masyarakat Indonesia pada umumnya adalah petani dan nelayan
Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian rakyat dan Negara.
Jati diri itu hampir hilang, nyatanya yang terjadi sekarang posisi petani semakin tercekik dengan merosotnya harga harga hasil pertanian.
Kebutuhan pertanian mulai dari pupuk, bibit unggul, pestisida, dan bahan pertanian lainnya kini harganya menjadi sangat tinggi.
Akibatnya, produksi makanan pokok menjadi berkurang.
Apa yang terjadi selanjutnya ?, pemerintah mengimpor bahan-bahan pokok tersebut dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri
Hal ini yang membuat kehidupan petani menjadi semakin terdesak.
Mengerikan, ketika harga beras menjadi mahal, dan masyarakat miskin dihimbau agar diet dan mengurangi konsumsi nasi, karena beras mahal, kata seorang menteri.
Hal yang sangat bertolak belakang, apakah yang terjadi dengan bangsa ini, sehingga Negara agraris kehilangan jati diri.
Adalah Kristiawan Saputra, Putra Bangsa Indonesia, yang terlahir dan besar di sebuah kampung terpencil di daerah Sukabumi Jawa Barat.
Sebagai narasumber indoshinju.com, yang saat ini ia bekerja di salah satu perusahaan kapal pesiar terbesar di dunia, dan bercita cita ingin mengembalikan lagi kejayaan pertanian di kampungnya seperti pada masanya dulu.
Dengan mendidik anak-anak petani yang putus sekolah di daerahnya dan mengarahkan mereka ke arah pertanian semi moderen dan mandiri.
Dia yang merasa prihatin dan miris dengan kondisi yang dialami para petani saat ini.
Dia pun bercerita tentang kehidupanya dimasa lampau, sebagai pemuda yang berasal dari keluarga petani.
Tentang bagaimana petani bisa berdikari seperti layaknya dahulu, berikut ini Kris menjabarkan:
“38 tahun lalu saya tinggal di pedesaan.
Saya hidup bukan di keluarga berada, tapi keluarga kami mandiri.
Kami sekeluarga memenuhi kebutuhan hidup dengan cara swasembada pangan.
Yaitu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, dengan menanam sayur mayur, umbi-umbian dan lain sebagainya.
Di halaman rumah, di dalam kaleng bekas, di pinggir jalan desa, dan dimana saja ada lahan kosong.
Juga kami berternak ayam, itik dan belut, buat memenuhi kebutuhan kami dan kami lakukan itu secara tradisional.
Memang tak banyak yang kami tanam dan kami ternak, tapi setidaknya kami bisa makan tiap hari dengan sayuran dan telor serta ikan belut tanpa harus membelinya.
Kadang nasipun kami ganti dengan umbi-umbian.
Seandainya sistim ini kembali di galakan di pedesaan dengan sistem yang agak di moderenkan/dimoderenisasi.
Mungkin tidak ada lagi warga miskin yang tidak bisa makan dan tidak lagi harus menunggu RASKIN yang di jatah oleh pemerintah, sehingga kebutuhan gizipun akan terpenuhi.
Kehidupan kami sebagai promen, apa kaitannya ?
Promen adalah kependekan dari produsen dan konsumen.
Itulah yang keluarga terapkan, kita produsen dari pertanian sekaligus konsumen dari pertanian kita juga”.
(by:Kristiawan Saputra/isc)