BANDUNG (Indoshinju.com) – Majelis Hakim yang di ketuai M.Saptono
yang menyidangkan dugaan pelanggaran UU.IT dengan terdakwa Buni Yani,akhirnya majelis hakim memutuskan untuk menolak 9 nota keberatan (eksepsi) pihak terdakwa yang diajukan 20 Juni 2017 lalu.
“Eksepsi terdakwa melalui penasehat hukumnya Aldwin Rahadian, SH, Atang Sumantri, SH, Ahmad Yani, SH dkk tidak dapat diterima. Hingga majelis hakimpun akhirnya memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melanjutkan persidangan ujar Sapto” Selasa (11/7/2017) pagi.
Sementara itu, Aldwin Rahadian, Atang Sumantri, Ahmad Yani, dkk selaku. kuasa hukum Buni Yani mengaku keberatan terhadap putusan sela majelis hakim.
“Sebetulnya kita sangat keberatan. Kita uji nanti di pokok perkara,” ucapnya
Meski keberatan, Aldwin mengatakan, kliennya menerima keputusan sela tersebut dan seluruh keberatan-keberatan terhadap putusan sela majelis hakim akan disusun dan diakumulasikan.
“(Keberatan) akan kita sampaikan di nota pembelaan akhir di pledoi. Jadi enggak apa-apa, kita menguji kalau hakim secara formil menilai tidak ada persoalan tapi tetap kita ada beberapa hal keberatan,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, pada sidang 20 Juni 2017, Buni Yani melalui tim kuasa hukumnya mengajukan eksepsi atau nota keberatan. “Kurang lebih ada 9 poin yang kami sampaikan di persidangan,” kata Aldwin Rahadian
Eksepsi pertama, tentang kompetensi relatif Pengadilan Negeri Bandung. “Poin ini lebih pada siapa yang berwenang menentukan tempat Buni Yani diadili,” tuturnya.
Kedua, eksepsi penggunaan pasal 28 ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2016 tentang ITE.
“Surat dakwaan kedua yang melanggar asas legalitas atau reproaktif yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 kitab UU Hukum Pidana,”
Ketiga, eksepsi tentang perbuatan terdakwa Buni Yani yang tunggal tapi diterapkan dua pasal yang berbeda unsurnya. Hal itu terdapat dalam dakwaan ke satu dan pasal dakwaan jaksa penuntut umum.
“Eksepsi keempat tentang uraian perbuatan terdakwa yang tidak jelas yang terdapat dalam dakwaan ke satu Jaksa Penuntut Umum,”
Eksepsi kelima, lanjut dia, tentang penyusunan surat dakwaan yang tidak berdasarkan ketentuan UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Karena mendakwakan pasal yang tidak pernah disangkakan terhadap terdakwa dan tidak pernah terdapat dalam berkas perkara sebagai dakwaan yang muncul tiba-tiba,” bebernya.
Keenam, kuasa hukum Buni Yani mengajukan eksepsi tentang ketidaksesuaian antara uraian perbuatan dalam surat dakwaan kedua dengan pasal yang didakwakan.
“Ketujuh eksepsi tentang pelanggaran hukum yang berkaitan dengan penerbitan SPDP. Jadi SPDP diterbitkan dua kali kepada dua kejaksaaan berbeda yakni Kejati DKI dan Jawa Barat dan SPDP diterbitkan bukan di awal penyidikan tapi di akhir,” akunya.
Kedelapan, eksepsi tentang hasil penyidikan yang tidak sah karena melanggar 138 ayat 2 KUHAP jo pasal 12 ayat 5 peraturan kejaksaan tentang SOP penanganan tindak pidana umum.
Poin keberatan terakhir dari pihak Buni Yani adalah terkait dengan putusan hukum yang sudah ditetapkan terhadap Basuki Tjahja Purnama.
“Pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang sudah berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Kami berharap majelis hakim terhormat mengabulkan apa yang menjadi nota keberatan kami karena kita berharap surat dakwaaan JPU batal demi hukum dan menghapus perkara tentang Buni Yani,” tandasnya.
(CLISH)