Refleksi Budaya Pembawa Imlek Di Tuban

TUBAN (indoshinju.com) – Refleksi Budaya Pembawa Imlek di Tuban

Oleh; Zenith Latu Januar

Akulturasi dan asimilasi antara Jawa, Tionghoa dan Islam di Tuban, kota dimana saya dilahirkan. Terjadi jauh sebelum dikirimnya para utusan/ wali oleh Kekhalifahan Utsmaniyah/ Ottoman Turki pada tahun 1404 (ref: kitab Kanzul Hum yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah) ataupun Panglima Cheng Ho/ Zheng He/ Sampo Tai/ Sam Po Bo/ Haji Mahmud Shams dengan pengikutnya Dampo Awang/ Kyai Juru Mudi pada tahun 1411 (ref: Lee Khoon Choy) oleh Kekaisaran Yongle generasi ke 3 Dinasti Ming dari Tiongkok/ China sekarang.

Dalam buku pahatan kayu “Ying Ya Sheng Lan” yang ditulis oleh Ma Huan pada tahun 1433 menyebutkan bahwa sebelum kedatangan Cheng Ho, di Jawa sudah banyak kaum Tionghoa dan keturunannya memeluk agama Islam.

Sampai sekarang akulturasi dan asimilasi tersebut masih berlangsung dan terjaga dengan baik di Tuban.

Kerukunan dan keharmonisan tercipta dalam sebuah keselarasan dalam kehidupan masyarakat Tuban.

Masyarakat yang bisa membedakan antara Tionghoa dengan China, sama halnya membedakan antara orang Belanda dengan VOC.

Salah satu bentuk akulturasi tersebut adalah Masjid “Baitul Jalil” yang berada di dalam area pondok pesantren Salafiyah “Syifaul Qulub” di Dusun Bamban, Desa Sidodadi, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban.

Masjid yang setiap hari digunakan untuk kegiatan mengaji dan sholat berjamaah oleh para santrinya itu mempunyai struktur dan bentuk bangunan yang menggunakan gaya arsitektur Tionghoa, sehingga masjid ini mirip sekali dengan Kelenteng atau tempat ibadah umat Tri Dharma.

(Author-Zenith @2017)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *